Gambar ilustrasi |
Plasenta/ ari-ari secara medis berfungsi sebagai penyedia makanan dan saluran lainnya yang menghubungkan antara janin dengan ibunya. Selama berbulan-bulan, plasenta ini sangat berguna bagi bayi di dalam rahim sang ibu. Namun begitu bayi lahir. maka perannya usai sudah.Namun dalam masyarakat tertentu, ada semacam kepercayaan tertentu bahwa di balik fungsi medis, ada hubungan ‘ghaib’ tertentu antara bayi dengan plasentanya. Karena itu, sebagian masyarakat yang mewarisi tradisi kuno ini masih terlihat melakukan berbagai macam ritual yang tidak ada kaitannya dengan agama.
Salah satunya adalah mengubur plasenta di dekat
rumah, bahkan harus diberi pelita (lampu), dan bersamanya juga dikuburkan
benda-benda tertentu, yang dipercaya akan berpengaruh atas nasib dan kehidupan
si bayi bila kelak dewasa. Lucunya lagi terkadang sebagian orang melakukan
ritual itu begitu saja, tanpa pernah tahu hubungan sebab akibatnya. Dan semakin
lucu lagi, karena yang melakukannya seringkali justru orang yang berpendidikan
tinggi dan sarjana. Seharusnya mereka lebih mengedepankan hal-hal yang ilmiyah
ketimbang sesuatu yang irrasional.
Tentu saja tidak ada satu pun dalil, baik berupa
potongan ayat Al-Quran atau hadits nabawi, tentang masalah menanam ari-ari.
Bahkan hadits yang paling dhaif atau bahkan hadits palsu sekalipun, sama sekali
tidak pernah memuat masalah ini. Jadi ritual ini betul-betul produk lokal, jauh
dari bau-bau Islam dan syariatnya. Tak satu ayat Quran menyebutkannya, tidak
satu pun hadits nabi menyinggungnya dan tidak ada dalam syariat Islam tentang
aturan mainnya.
Sementara, dari sisi aqidah yang bersih,
kepercayaan bahwa ada hubungan ghaib antara plasenta dengan nasib seseorang,
jelas telah melanggar wilayah syirik. Sehingga ritual tertentu yang dilakukan
terhadap plasenta ini, sangat mengganggu hubungan kita sebagai muslim dengan
Allah Azza wa Jalla.
Seolah nasib seseorang ditentukan oleh
plasentanya, bukan oleh tugas pendidikan dari kedua orang tuanya dan
lingkungannya. Padahal tegas sekali disebutkan bahwa nasih seseorang bukan
ditentukan oleh perlakuan terhadap plasenta, namun tergantung dari upaya
(ikhtiar) seseorang serta doa-doa yang dipanjatkan.
Khusus masalah doa yang dipanjatkan, Allah Azza
wa Jalla telah menetapkan teknis dan tata caranya. Bila menggunakan teknis dan
tata cara yang tidak sesuai dengan apa yang dimaui oleh Allah Azza wa Jalla,
doa itu bukan saja tertolak, tetapi malah akan menimbulkan bencana. Misalnya
ritual perlakuan terhadap plasenta yang cenderung syirik itu, bukan nasih baik
yang akan diterima oleh bayi dan keluarga itu, malah boleh jadi sebaliknya.
Namun kita juga harus menerima kenyataan bahwa
ritual dan kepercayaan kuno itu masih banyak melekat di tengah masyarakat.
Bahkan, tidak jarang yang jadi pelakunya adalah orang terdidik. Mungkin di
kepalanya ada ragu dan setengah tidak percaya, tetapi tetap dilakukannya juga,
dengan alasan untuk menjaga tradisi nenek moyang.
Maka semua itu harus diklarifikasi ulang, tradisi
nenek moyang yang bagaimana yang harus kita lestarikan? Sebab tidak semua
tradisi itu baik. Bukankah di zaman nenek moyang dulu, juga ada tradisi minum
khamar, zina, judi dan seterusnya? Bukan kah dahulu nenek moyang kita menyembah
dewa dan berhala?
Apakah hari ini akan tetap kita lestarikan
budaya-budaya yang negatif dari nenek moyang itu? Tentu tidak, bukan?
Tugas kita sekarang ini adalah berupaya mengikis
dan mengurangi secara sistematis, tradisi yang sekiranya bertentang dengan
nilai-nilai kemanusiaan serta nilai-nilai keIslaman. Namun bila tradisi itu
sesuai dengan Islam, barulah kita lestarikan.
Memendam
Plasenta untuk Kebersihan Lingkungan?
Kalau sekedar mengubur (memendam) palsenta di
dalam tanah, tanpa niat apapun kecuali untuk kebersihan dan kesehatan
lingkungan, tentu boleh dan baik. Sebab plasenta itu akan segera membusuk bila
tidak dipendam.
Jalan terbaik memang dipendam saja, agar tidak
merusak lingkungan. Namun tanpa diiringi ritual apa pun yang bisa merusak
hubungan mesra kita kepada Allah SWT. Pendam saja dan selesai.
Wallahu a’lam bishshawab
Cara Menguburkan Tembuni (Ari-Ari) secara
Syar’i
Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang
menguburkan ari-ari. Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan
dengan cara tertentu, karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan
kosong yang tidak ada dasarnya dalam syariah. Kala kepercayaan ini diteruskan,
pelakunya bisa terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar,
karena orang yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dsoa yang dibawa mati tidak
akan diampuni.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa’: 48) Karena itu jangan sampai iman kita
gugur hanya karena kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau
dikubur dengan niat agar kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama
halnya dengan mengubur bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu
menjelma menjadi syetan, tetapi agar tidak terjadi pencemaran.
Cara yang paling aman dan mudah adalah dengan
menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk
dikuburkan di dalam tanah. Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam
keercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.
Hukum Menguburkan Ari-Ari Bayi
Bagi masyarakat Nusantara, Islam tidak lagi
dipandang sebagai ajaran asing yang harus dipahami sebagaimana mula asalnya.
Islam telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian,
mulai dari cara berpikir, bertindak dan juga bereaksi. Sehingga Islam di
Nusantara ini memiliki karakternya tersendiri. Sebuah karakteristik yang kokoh
dengan akar tradisi yang mendalam. Yang dibangun secara perlahan bersamaan
dengan niat memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara oleh para
pendakwah Islam di zamannya.
Diantara tradisi yang hingga kini masih berlaku
dalam masyarakat Islam Nusantara, khususnya di tanah Jawa adalah
menanam/menguburkan ari-ari setelah seorang bayi dilahirkan dengan taburan
bunga di atasnya. Atau dengan menyalakan lilin di malam hari.
Apakah
Islam pernah mengajarkan hal yang demikian?
Menanam ari-ari (masyimah) itu hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin dan menaburkan
bunga-bunga di atasnya itu hukumnya haram karena dianggap sebagai tindakan
membuang-buang harta (tabdzir) yang tak ada manfaatnya.
Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Syamsudin
Ar-Ramli dalam kitab Nihayatu al-Muhtaj menerangkan :
وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ
حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ
وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا.
“Dan
disunnahkan mengubur anggota badan yang terpisah dari orang yang masih hidup
dan tidak akan segera mati, atau dari orang yang masih diragukan kematiannya,
seperti tangan pencuri, kuku, rambut, ‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat
goresan, demi menghormati orangnya”.
Sedangakan pelarangan bertindak boros (tabdzir)
Imam al-Bajuri dalam kitab Hasyiyatul Bajuri berkata :
)المُبَذِّرُ
لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ
مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ
آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang
yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar
kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang
tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat),
meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Namun, seringkali penyalaan lilin ataupun alat
penerang lainnya di sekitar kuburan ari-ari dilakukan dengan tujuan
menghindarkannya dari serbuan binatang malam (seperti tikus dll). Maka jika
demikian hukumnya boleh saja.
Memperlakukan Ari-ari atau Tembuni
Ari-ari atau tembuni adalah gumpalan daging yang
berisi darah, cairan, atau bagian lain yang ikut dikeluarkan bersama bayi pada
saat dilahirkan. Tidak banyak buku untuk tidak mengatakan tidak ada yang
membahas khusus mengenai bagaimana memperlakukan ari-ari atau tembuni ini
setelah bayi dilahirkan.
Lalu, sebagai orang Islam, sudah barang tentu
kita bertanya tentang bagaimanakah cara kita memperlakukan ari-ari. Persoalan
ini memang perlu dijawab karena sering muncul pertanyaan di masyarakat,
terutama dari kalangan keluarga muda. Pertanyaan ini juga menjadi penting
karena kebiasaan yang terjadi di masyarakat, terutama orang minangkabau, sangat
istimewa atau terhormat dalam memperlakukan ari-ari ini, sehingga mempunyai
aturan dan tata cara yang detail dalam memperlakukannya.
Mengapa orang minangkabau mempunyai rasa hormat
sehingga tidak sembarangan dalam memperlakukan ari-ari? Karena dalam keyakinan
orang minangkabau, ari-ari adalah bagian dari sedulur (saudara) dari bayi.
Sudah barang tentu, sebagai sedulur atau saudara, ari-ari ini dianggap
mempunyai ruh yang diyakini mempunyai hubungan yang dekat dengan bayi. Itulah
mengapa ari-ari atau tembuni yang merupakan bagian dari saudara sang bayi harus
dikubur secara layak.
Setelah bayi dilahirkan dan tali pusar dipotong,
biasanya ari-ari dibersihkan dengan cara dicuci memakai air. Setelah bersih,
ari-ari dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari gerabah. Ada pula
yang tidak langsung memasukkan ke dalam wadah tersebut, tetapi membungkusnya
dahulu dengan kain putih yang bersih. Setelah dimasukkan wadah dan ditutup,
ari-ari tersebut baru kemudian dikubur atau ditanam di dalam tanah.
Cara menguburnya pun bisa dibilang unik, akan
dikubur di sebelah mana, tergantung dari jenis kelamin sang bayi. Ada pula yang
membarengi penguburan ari-ari itu dengan menaruh barang-barang tertentu di
dalam wadah. Barang atau benda tertentu itu, misalnya, pena agar kelak sang
anak menjadi terpelajar, cermin agar kelak pandai berdandan, jarum agar kelak
sang anak pandai menjahit, dan lain sebagainya. Setelah dikubur, di atas
gundukan tanahnya ada yang menaburkan bunga, kemudian diberi lampu atau alat
penerang agar sedulurnya tidak kegelapan atau ada yang merasionalisasi tentang
penerang ini, menurut mereka, agar kubur atau timbunan ari-ari tidak dibongkar
oleh anjing atau hewan pemakan daging lainnya.
Bagaimana
Pandangan Islam?
Sebelum membahas persoalan ini lebib lanjut, satu
hal yang perlu ditegaskan, tulisan dalam risalah sederhana ini tidak
dimaksudkan untuk menghukumi bahwa perilaku dalam adat tertentu itu syirik atau
tidak. Sebab, persoalan syirik atau tidak itu letaknya di dalam hati; apakah
seseorang menyekutukan Allah Swt. atau tidak; apakah seseorang mempunyai
keyakinan bahwa ada kekuatan lain selain Allah atau tidak; apakah seseorang
mempunyai ketakutan kalau tidak melakukan sesuatu akan berakibat buruk bagi
nasibnya atau tidak, padahal perbuatan itu sama sekali tidak Allah perintahkan,
dan sebagainya.
Namun, apabila di dalam hati seseorang sudah
tumbuh kepercayaan yang kalau mau jujur diakui pada ujungnya adalah
menyekutukan Allah Swt., sudah barang tentu sikap semacam ini sama sekali tidak
dapat dibenarkan. Di sinilah sesungguhnya pentingnya menjaga hati agar
senantiasa dalam tauhid. Bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Esa. Hanya
Dia-lah Yang Mengatur alam semesta ini; termasuk nasib dan takdir dari setiap
manusia.
Demikian pula dalam masalah ari-ari. Sayangnya
untuk masalah ini tidak dijumpai hadis Nabi Saw. yang dapat dijadikan rujukan.
Namun, para ulama memandang bahwa ari-ari atau tembuni memang berguna ketika
bayi dalam kandungan. Tetapi, setelah keluar bersama bayi pada saat dilahirkan,
maka ari-ari adalah barang yang tidak berguna lagi.
Tidak ditemukan pula satu dalil pun yang
mengatakan bahwa ari-ari itu mempunyai ruh; apalagi yang mengatakan bahwa ruh
itu bisa berhubungan erat dengan sang bayi. Misalnya, kalau di timbunan ari-ari
itu tidak diberi bunga, maka ruh dari sedulur bayi itu akan mengganggu sehingga
sang bayi akan terus-menerus menangis. Juga tidak ditemukan satu dalil pun yang
mengatakan bahwa ruh dari sedulur itu kelak bisa ditemui oleh sang anak bila
sudah dewasa, melalui ritual tertentu, sehingga bisa memberikan pertolongan.
Memang, ada beberapa orang yang mengaku pernah
dan atau bisa bertemu dengan sedulur-nya itu. Menurut penelusuran penulis, juga
berdasarkan pendapat beberapa ulama, yang menemui itu adalah perwujudan dari
jin, yang beberapa pendapat menyebutnya sebagai qarin. Sungguh, dalam hal ini
kita perlu berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam sebuah keyakinan yang
pada ujungnya ternyata menyekutukan Allah Swt.
Kembali kepada masalah ari-ari atau tembuni,
berkaitan dengan para ulama yang mengatakan bahwa ari-ari tersebut sudah tidak
berguna lagi setelah bayi lahir, juga tidak ada satu pun dalil yang mengatakan
bahwa ari-ari tersebut mempunyai ruh, maka para ulama mengajarkan agar ari-ari
itu hendaknya dikubur atau ditanam begitu saja.
Dalam hal ini, H. Munawir Abdul Fattah, dalam
sebuah bukunya yang berjudul Tradisi Orang-Orang NU, mengutip kitab Nihâyat
al-Muhtâj, yang menjelaskan bahwa disunnahkan mengubur sesuatu (anggota badan)
yang terpisah dari seorang yang masih hidup atau yang diragukan kematiannya,
seperti tangan pencuri, kuku, rambut, dan darah akibat goresan, demi
menghormati pemiliknya.
Dengan demikian, jelas sudah tentang bagaimana
cara kita dalam memperlakukan ari-ari, yakni dikubur atau ditanam begitu saja
tanpa perlu diberi sesuatu atau uba rampe tertentu. Mengubur atau menanam
ari-ari adalah suatu kebaikan karena ia pernah menjadi bagian dari sang bayi
ketika masih dalam kandungan. Menanam ini juga dikiyaskan dengan rambut atau
kuku setelah dipotong sebaiknya ditanam sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa
sahabat. Jadi, justru tidak dibenarkan apabila dibuang begitu saja. Selain itu,
perbuatan main buang saja yang seperti itu tentu bukan mencerminkan perilaku
orang beriman yang menganggap penting masalah kebersihan.
Dikarenakan penguburan ini berangkat dari sebuah
kenyataan bahwa ari-ari itu memang pernah menjadi bagian dari sang bayi ketika
masih di dalam kandungan, tidak masalah jika sebelum dikubur dibersihkan
terlebih dahulu; tidak masalah juga jika dimasukkan dalam sebuah wadah tertentu
kemudian ditutup agar tidak berbau, baru kemudian ditanam. Asalkan, ini yang
paling penting, jangan pernah punya keyakinan kalau tidak begini maka akan
begitu; kalau tidak begitu maka nasib sang bayi akan begini. Sebab, hanya Allah
Swt. Yang Mahakuasa dan Mempunyai Kekuatan. Hanya kepada-Nya kita menyembah dan
memohon pertolongan.
Demikian tulisan singkat mengenai ari-ari ini
semoga bermanfaat bagi kita bersama.
Wassallam ...
No comments:
Post a Comment