Pada kesempatan ini
saya akan mencoba membahas hubungan antara Syariat dan Hakikat. Sudah menjadi
rahasia umum, dimana sering kita mendengar adanya sebagian orang yang berdebat
hanya untuk beradu argumen tentang Syariat dan Hakikat. Pada dasarnya keduanya
sama-sama berhubungan. Sebagai ilustrasinya “dimana Syariat diibaratkan sebagai
badan/ jasmani sebagai tempat ruh berada dan Hakikat ibarat ruh yang
menggerakkan badan”. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan
badan agar memiliki wadah. Dari ilustrasi di atas sudah bisa ditebak, bahwa
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.
Ada adagium lama dan
cukup terkenal yaitu “Hakikat tanpa Syariat adalah kepalsuan sedangkan Syariat
tanpa Hakikat adalah sia-sia”. Secara tersirat bermakna seperti “siapa
bersyariat tanpa berhakikat, niscaya dia menjadi fasik sedangkan yang
berhakikat tanpa bersyariat, niscaya dia menjadi zindik dan barangsiapa yang
menghimpun keduanya (Syariat dan Hakikat) maka dia telah benar-benar sudah berhakikat.
Dari segi makna pun
bisa dijabarkan. Dimana Syariat adalah berupa aturan-aturan atau hukum-hukum
dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman untuk manusia,
baik aturan yang tertulis maupun yang lainnya. Maka apa yang tersurat
didalam Al-Qur’an menjelaskan aturan
pokok ajaran dan bersifat universal. Setelahnya karena Nabi orang yang
merupakan orang pilihan yang paling dekat dengan Allah dan memahamI Al-Qur’an dan menjelaskan aturan
pokok tersebut melalui ucapan dan tindakan beliau, sedangkan para sahabat
menjadikannya sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist.
Ucapan Nabi masih
bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian
khusus untuk menafsirkannya. Maka para sahabat sebagai orang-orang yang sangat
dekat dengan Nabi merupakan orang yang paling mengerti akan ucapan Nabi, karena
memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari sahabat itulah kemudian
diterjemahkan ke dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama
sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan Ijtihad dan menggali sumber utama hukum
islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Maka
lahirlah cabang-cabang keilmuan yang digunakan sampai kepada generasi sekarang.
Sumber hukum islam itu kemudian dikenal sebagai empat pilar. Yaitu : Al-Qur’an,
Hadist, Ijmak dan Qiyas. Itulah yang kita kenal dengan Syariat islam.
Untuk melaksanakan
Syariat islam terutama dalam bidang ibadah, harus menggunakan metode yang tepat
dan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan apa yang dilakukan
Rasulullah SAW sehingga hasilnya sama. Sebagai contoh sederhana, Allah
memerintahkan untuk shalat dan Nabi melaksanakannya kemudian para sahabat
mengikuti Nabi. Nabi juga mengatakan “shalatlah kalian seperti aku shalat”.
Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh para sahabat dan dilaksanakan oleh
sahabat kemudian dijadikan aturan oleh para ulama. Maka kita kenal sekarang
sebagai Rukun Shalat yang 13 perkara.
Dari Rukun Shalat yang
13 perkara itu juga dijadikan pedoman untuk seluruh umat islam didunia agar
shalatnya standar sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi. Akan tetapi didalam
13 Rukun Shalat tadi tidak diajarkan cara supaya khusuk dan supaya bisa
mencapai tahap Makrifat dimana seorang hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Maka ketika rukun
ketiga dalam shalat “Wajjahtu waj-hiya
lilaa-dzi fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw-wamaa ana
minal-musy-rikiin..” yang artinya ialah Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya
Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri
dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seseorang hamba
sudah menemukan gelombang tersebut dalam menghadap Tuhan, menemukan wajahnya
yang Maha Agung. Sehingga kita tidak termasuk kedalam golongan orang musyrik
yang menyekutukan Tuhan. Sedangkan dikalangan Syariat dengan mudah menuduh
musyrik kepada orang lain, tanpa sadar mereka hanya mengenal nama Tuhan
sementara yang hadir dalam shalatnya adalah wajah-wajah lain selain-Nya. Kalau
wajah-Nya sudah ditemukan diawal shalat maka ketika sampai kepada Rukun Shalat
ke 4 yaitu bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat
akrab antara hamba dan Tuhannya.
Didalam Syariat tidak
ada diajarkan seperti itu karena Syariat seperti dijelaskan diawal tadi bahwa
hanya berupa hukum dan aturan. Ruh ibadah itu hidup maka didalam melaksanakan
Syariat dengan benar diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal
dengan Tariqatullah/ jalan kepada Allah, yang kemudian disebut dengan Tarekat.
Jadi Tarekat itu pada awalnya bukanlah sekumpulan orang-orang yang mengamalkan
dzikir-dzikir tertentu. Nama Tarekat itu pada awalnya diambil dari sebuah
istilah pada zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan rahasia atau
amalan rahasia untuk mencapai kesempurnaan didalam beribadah. Munculnya
perkumpukan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman agar orang-orang didalam beribadah bisa lebih teratur,
tertib dan terorganisir. Seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw yaitu
“kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak
terorganisir”.
Kelau ajaran-ajaran
agama yang kita kenal dengan Syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang
benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong dan hanya sekedar
memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak
kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat sedangkan hati berkelana
kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih dialam dunia dan belum mencapai alam
rabbani.
Ibadah haji yang
merupakan puncak ibadah yang diundang oleh Allah SWT. Seharusnya disana
berjumpa dengan yang mengundang, yaitu pemilik ka’bah. Pemilik dunia akhirat
Tuhan seru sekalian alam, tetapi yang terjadi disana hanyalah berupa dinding
batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di padang arafah itu adalah
proses menunggu, menunggu dia (Allah) yang dirindui oleh sekalian hamba untuk
hadir dalam kekosongan jiwa manusia namun yang ditunggu tidak pernah muncul.
Disinilah sebenarnya letak kesilapan kaum muslimin diseluruh dunia, terlalu
disibukkan dengan aturan Syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan Syariat
itu dengan benar yaitu Tarekat.
Ketika ilmu Tarekat
dilupakan bahkan sebagian orang menganggap ilmu warisan Nabi ini sebagai Bid’ah
maka pelaksanaan ibadannya menjadi kacau balau. Badan seolah-oleh khusuk
beribadah namun hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat
dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman neraka Wail. Harus diingat bahwa
lalai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati
sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat tidak di
latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? Dan bagaimana mungkin dalam shalat bisa
mengingat Allah kalau diluar shalatnya tidak dilatih berDzikir kalau jiwanya
belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah didalam surat
Al-‘Ala, “beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ ruhnya, kemudian dia
berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan
dan kemudian menegakkan shalat”.
Kesimpulan dari tulisan
singkat ini adalah sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. ke empatnya menjadi satu. Iman dan
islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam ihsan hanya bisa
ditempuh lewat ilmu tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka
dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak
terpisah tapi satu.
Sama seperi biasanya,
tulisan ini bukan bermaksud menyalahkan dan menuduh aliran-aliran lain
tergolong kedalam hal (negatif) tapi saya hanya meluruskan pemahaman yang
selama ini banyak dari kita yang rancu didalam menyimpulkan. Saya (penulis)
berharap kepada pembaca agar bijak didalam menyimpulkan.
Wassallam ...
No comments:
Post a Comment