Tuesday, December 20, 2016

SYARIAT, HAKIKAT, MAKRIFAT DAN TAREKAT ITU SATU KESATUAN

Oleh : Dayendra Sasri



Pada kesempatan ini saya akan mencoba membahas hubungan antara Syariat dan Hakikat. Sudah menjadi rahasia umum, dimana sering kita mendengar adanya sebagian orang yang berdebat hanya untuk beradu argumen tentang Syariat dan Hakikat. Pada dasarnya keduanya sama-sama berhubungan. Sebagai ilustrasinya “dimana Syariat diibaratkan sebagai badan/ jasmani sebagai tempat ruh berada dan Hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan”. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah. Dari ilustrasi di atas sudah bisa ditebak, bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan.

Ada adagium lama dan cukup terkenal yaitu “Hakikat tanpa Syariat adalah kepalsuan sedangkan Syariat tanpa Hakikat adalah sia-sia”. Secara tersirat bermakna seperti “siapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya dia menjadi fasik sedangkan yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya dia menjadi zindik dan barangsiapa yang menghimpun keduanya (Syariat dan Hakikat) maka dia  telah benar-benar sudah berhakikat.

Dari segi makna pun bisa dijabarkan. Dimana Syariat adalah berupa aturan-aturan atau hukum-hukum dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman untuk manusia, baik aturan yang tertulis maupun yang lainnya. Maka apa yang tersurat didalam Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok ajaran dan bersifat universal. Setelahnya karena Nabi orang yang merupakan orang pilihan yang paling dekat dengan Allah dan memahamI Al-Qur’an dan menjelaskan aturan pokok tersebut melalui ucapan dan tindakan beliau, sedangkan para sahabat menjadikannya sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist.

Ucapan Nabi masih bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian khusus untuk menafsirkannya. Maka para sahabat sebagai orang-orang yang sangat dekat dengan Nabi merupakan orang yang paling mengerti akan ucapan Nabi, karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari sahabat itulah kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan Ijtihad dan menggali sumber utama hukum islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Maka lahirlah cabang-cabang keilmuan yang digunakan sampai kepada generasi sekarang. Sumber hukum islam itu kemudian dikenal sebagai empat pilar. Yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas. Itulah yang kita kenal dengan Syariat islam.

Untuk melaksanakan Syariat islam terutama dalam bidang ibadah, harus menggunakan metode yang tepat dan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan untuk shalat dan Nabi melaksanakannya kemudian para sahabat mengikuti Nabi. Nabi juga mengatakan “shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh para sahabat dan dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh para ulama. Maka kita kenal sekarang sebagai Rukun Shalat yang 13 perkara.

Dari Rukun Shalat yang 13 perkara itu juga dijadikan pedoman untuk seluruh umat islam didunia agar shalatnya standar sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi. Akan tetapi didalam 13 Rukun Shalat tadi tidak diajarkan cara supaya khusuk dan supaya bisa mencapai tahap Makrifat dimana seorang hamba bisa memandang wajah Allah SWT.

Maka ketika rukun ketiga dalam shalat “Wajjahtu waj-hiya lilaa-dzi fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw-wamaa ana minal-musy-rikiin..” yang artinya ialah Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seseorang hamba sudah menemukan gelombang tersebut dalam menghadap Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung. Sehingga kita tidak termasuk kedalam golongan orang musyrik yang menyekutukan Tuhan. Sedangkan dikalangan Syariat dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar mereka hanya mengenal nama Tuhan sementara yang hadir dalam shalatnya adalah wajah-wajah lain selain-Nya. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan diawal shalat maka ketika sampai kepada Rukun Shalat ke 4 yaitu bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dan Tuhannya.

Didalam Syariat tidak ada diajarkan seperti itu karena Syariat seperti dijelaskan diawal tadi bahwa hanya berupa hukum dan aturan. Ruh ibadah itu hidup maka didalam melaksanakan Syariat dengan benar diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah/ jalan kepada Allah, yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukanlah sekumpulan orang-orang yang mengamalkan dzikir-dzikir tertentu. Nama Tarekat itu pada awalnya diambil dari sebuah istilah pada zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan rahasia atau amalan rahasia untuk mencapai kesempurnaan didalam beribadah. Munculnya perkumpukan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang didalam beribadah bisa lebih teratur, tertib dan terorganisir. Seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw yaitu “kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kelau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan Syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong dan hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat sedangkan hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh  masih dialam dunia dan belum mencapai alam rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah yang diundang oleh Allah SWT. Seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang, yaitu pemilik ka’bah. Pemilik dunia akhirat Tuhan seru sekalian alam, tetapi yang terjadi disana hanyalah berupa dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di padang arafah itu adalah proses menunggu, menunggu dia (Allah) yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia namun yang ditunggu tidak pernah muncul. Disinilah sebenarnya letak kesilapan kaum muslimin diseluruh dunia, terlalu disibukkan dengan aturan Syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan Syariat itu dengan benar yaitu Tarekat.

Ketika ilmu Tarekat dilupakan bahkan sebagian orang menganggap ilmu warisan Nabi ini sebagai Bid’ah maka pelaksanaan ibadannya menjadi kacau balau. Badan seolah-oleh khusuk beribadah namun hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman neraka Wail. Harus diingat bahwa lalai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? Dan bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalatnya tidak dilatih berDzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah didalam surat Al-‘Ala, “beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.

Kesimpulan dari tulisan singkat ini adalah sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. ke empatnya menjadi satu. Iman dan islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi satu.

Sama seperi biasanya, tulisan ini bukan bermaksud menyalahkan dan menuduh aliran-aliran lain tergolong kedalam hal (negatif) tapi saya hanya meluruskan pemahaman yang selama ini banyak dari kita yang rancu didalam menyimpulkan. Saya (penulis) berharap kepada pembaca agar bijak didalam menyimpulkan.

Wassallam ...

No comments:

Post a Comment